Harmonization of Law

HARMONISASI HUKUM DAN MORALITAS BISNIS PERBANKAN

 

Kusnu Goesniadhie S.*

 

Abstract

 

Government policies in banking sector represent interaction and communication instruments between Bank Indonesia as a central bank of Indonesia and banking institutions, be side between banking institutions and public saving clients. That is convergence a “social morality”, so that banking institution should be orientation according with moral suasion and government.

Some banking criminals, will have a question around of banking supervision and safety system to take into effect. Some banking criminals “modus operandi” around of fraud auditing and false financial statements, and abuse of authority.

The paper presentation some aspects of banking law, covered moral suasion contents of prudential regulations, and some of banking fraudulent and banking criminal, and harmonization of banking law.

 

Keywords: harmonization of law, moral suasion, banking fraudulent.

 

Pertumbuhan dan perkembangan perbankan tidak hanya digerakkan oleh pasar, tetapi juga melalui kebijakan pemerintahan. Mengingat strategisnya peranan industri perbankan dalam membangun perekonomian nasional, pemerintah secara bertahap melaksanakan berbagai langkah kebijakan di sektor perbankan, agar perbankan dapat melakukan penyesuaian terhadap perkembangan perekonomian nasional dan internasional yang berkembang pesat dan cepat.

Dalam makalah ini yang dimaksud dengan istilah “harmonisasi hukum”, adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum perbankan, untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keseimbangan di antara norma-norma hukum dalam peraturan perundangan sebagai sistem hukum dalam kerangka sistem hukum nasional. Dengan demikian norma-norma hukum dalam peraturan perundangan bidang perbankan sebagai subsistem dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional, tidak terhalang oleh perbedaan-perbedaan, tidak saling bertentangan dan tidak terjadi tumpang tindih.

Istilah “hukum perbankan” dalam makalah ini mempunyai isi yang luas termasuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam bentuk Peraturan, Surat Edaran atau Surat Keputusan, yang mengatur kegiatan usaha perbankan. Bagi Lon L. Fuller, hukum mempunyai isi yang lebih luas lagi seperti dikatakannya: “Law is the enterprise of subjecting human conduct to the governance of rules” (The Morality of Law, 1971: 106).

Dalam mengkaji hukum perbankan, yang harus diperhatikan bahwa transaksi-transaksi perbankan melibatkan surat-surat berharga, seperti tercantum dalam Pasal 6 Undang-undang No.7 Tahun 1992, tentang Perbankan jo. Pasal 6 Undang-undang No.10 Tahun 1998, yang merupakan hasil daya cipta semata karena kreasi hukum. Oleh karena itulah hukum memainkan peranan sentral dalam operasional perbankan. Oleh karena itu pula, jika hukum tidak berfungsi, maka hak-hak pemilik atau pemegang surat-surat berharga tersebut tidak terjamin.

Dalam Kamus Filsafat (1995: 213), istilah moral dan etika (ethics) mempunyai pengertian yang sama, meskipun asal kata berbeda. Moral berasal dari bahasa Latin mores, sedangkan etika dari bahasa Yunani ethos. Keduanya mempunyai pengertian the customs, yang berkaitan dengan aktivitas manusia yang dipandang baik atau tindakan yang benar, adil dan wajar. Dalam bahasa Inggris (Encyclopedia International, 1967: 543), ethics diartikan sebagai “branch of philosophy concerned with conduct, the determination of good, and of right and wrong”. Dalam New Webster Dictionary of the English Language (1970: 300), ethics juga diartikan sebagai “the science which treats of the nature and grounds of moral obligation; moral philosophy which teaches men their duty and the reasons of it; the science of duty”. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2000: 427), ethics juga diartikan sebagai “the branch of philosophy that deals with moral principles”. Untuk membedakan kedua pengertian tersebut, dikenal dengan kata moral untuk menunjukkan perbuatan moral act. Sedangkan penyelidikan tentang moral sering diungkapkan sebagai ethical code. Dengan demikian etika lebih bersifat teori, sedangkan moral lebih menunjukkan praktek.

Lon L. Fuller berpandangan bahwa peran utama manusia bukan akalnya dan juga bukan kemauannya, tetapi kemampuannya berkomunikasi dengan orang lain. Dengan demikian tingkah laku manusia dapat diarahkan dan apakah hal itu akan berhasil tergantung dari ketrampilan mengarahkan dari orang yang menyusun peraturan (The Morality of Law, 1971: 186).

Kebijakan-kebijakan pemerintah di sektor perbankan merupakan instrumen atau sarana komunikasi yang mengatur interaksi antara Bank Indonesia sebagai bank sentral (pengawas dan pembina bank) dengan lembaga perbankan di satu sisi dan antara lembaga perbankan dengan masyarakat (nasabah) di sisi lain. Kebijakan-kebijakan pemerintah di sektor perbankan tersebut merupakan penggabungan “moralitas sosial”, sehingga lembaga perbankan harus mempunyai kecenderungan pandangan untuk menentukan atau mengorientasikan sikap arah dan tindakannya sesuai dengan moral suasion dan pemerintah. Moral suasion dimaksud antara lain berisikan norma kehati-hatian (prudential regulations) yang memiliki dimensi efisiensi, pemerataan, keseimbangan dan perlindungan terhadap masyarakat (nasabah).

Timbulnya berbagai kasus kejahatan perbankan, mengundang pertanyaan seputar sistem pengawasan dan pengamanan yang diberlakukan. Sering terjadi kasus kejahatan perbankan dalam bentuk pembobolan, sementara cara-cara melakukan atau modus operandinya di seputar pembukuan fiktif melalui dokumen yang “asli tapi palsu” (aspal) dan penyalahgunaan wewenang.

Melalui uraian singkat di atas, maka sistem hukum perbankan adalah cara unsur-unsur struktur, substansi dan budaya (moral), berinteraksi satu sama lain di bawah pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia sebagai bank sentral (three elements of legal system, Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, 1975: 14)

Makalah singkat ini mencoba melihat beberapa segi hukum yang perlu diperhatikan dalam mengkaji hukum perbankan, mencakup moral suasion yang berisikan prudential regulations (prinsip kehati-hatian) dengan mengemukakan beberapa modus operandi kejahatan perbankan, dan harmonisasi hukum perbankan dalam hal timbul kejanggalan dan pertentangan norma-norma hukum perbankan sebagai subsistem dalam kerangka sistem hukum nasional.

 

Hukum Perbankan

 

Salah satu hal yang ingin dikemukakan dalam makalah ini adalah “arti hukum perbankan bagi masyarakat” atau “fungsi yang dimiliki oleh hukum perbankan dalam keadaan sosial yang dinamis” berubah silih berganti.

Hukum telah masuk dalam setiap aspek kegiatan usaha perbankan. Setiap hari milyaran rupiah dana telah dihimpun oleh bank dan disalurkan melalui pinjaman kredit kepada yang membutuhkan. Di samping itu banyak pula transaksi pembayaran telah dilakukan dengan menggunakan promes, cek atau bilyet giro melalui pemindahbukuan, yang semua itu diatur oleh hukum perjanjian.

Semua fasilitas dan jasa-jasa perbankan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang memang harus terjadi, sehingga tidak lagi disadari bahwa semua itu sebenarnya adalah merupakan hasil dari proses pemberian jasa perbankan yang hanya dimungkinkan oleh eksistensi tertib hukum perbankan yang mengatur kebutuhan kuangan (finansial) bagi masyarakat.

Sebagai sistem yuridis, hukum perbankan dapat dikatakan sebagai subsistem tersendiri yang berisi asas hukum publik dan asas hukum perdata. Aspek hukum publik dalam hukum perbankan, bahwa suatu perusahaan dapat berfungsi sebagai bank apabila perusahaan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan perizinan yang ditentukan oleh hukum publik. Aspek hukum perdata dalam hukum perbankan terlihat pada saat bank melaksanakan kegiatan usahanya, dasar hubungan hukum antara bank dengan para nasabahnya adalah hubungan kontraktual. Sedangkan aspek hukum dari bisnis perbankan memperlihatkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan perbankan tidak hanya digerakkan oleh pasar tetapi juga melalui kebijakan pemerin­tahan.

Dari penjelasan di atas, hukum perbankan dapat diartikan sebagai “keseluruhan asas dan peraturan yang mengatur dan menentukan hubungan hukum antara bank, pemerintah dan masyarakat”. Hukum perbankan merupakan interaksi antara: environmental, yaitu hal yang berkaitan dengan kebijaksanaan moneter; legal, yaitu hal berkaitan dengan struktur dan sistem; moral suasion, yaitu peraturan dan pengarahan dari Bank Indonesia sebagai bank sentral; dan self regulation, yaitu hal berkaitan dengan norma kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahannya. (Wahjono, 1995)

 

Pengawasan Perbankan

 

Hukum perbankan merupakan suatu sarana untuk membagikan hak dan kewajiban di antara para pihak yang terkait, yakni bank, masyarakat dan Bank Indonesia selaku bank sentral. Aturan hukum perbankan memberikan pedoman serta landasan operasional yang harus ditaati oleh semua bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dengan mentaati ketentuan yang berlaku berarti semua pihak menyadari hak dan tanggungjawabnya, serta mengikatkan diri untuk melaksanankan­nya dengan baik.       

Hukum perbankan yang berintikan prinsip kehati-hatian (prudential regulations) memiliki dimensi efisiensi dan distributif dengan berasaskan suatu perbankan yang sehat. Sebagai suatu lembaga yang dalam usahanya terutama menggunakan dana masyarakat, kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank, maupun BI selaku pengawas dan pembina bank.

Dilihat dari sudut fungsinya mengatur kegiatan usaha perbankan, hukum perbankan menggariskan apa yang diizinkan, yaitu melaksanakan fungsi penghimpunan dana masyarakat, fungsi melaksanakan pembayaran, seperti ditentukan dalam Pasal 6 Undang-undang No.7 Tahun 1992, jo. Undang-undang No.10 Tahun 1998.

Untuk berhasilnya mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien, hukum perbankan mengatur dan menganggap perlu diaturnya ketentuan mengenai pengawasan dan pembinaan. Tujuan dilakukannya pengawasan dan pembinaan perbankan, yaitu untuk melindungi deposan, memelihara stabilitas pasar keuangan, mendorong efisiensi dan daya saing sistem perbankan, (BIS, Guidelines for Effective Banking Supervision, 1997).

Dalam kaitan dengan pengawasan bank, Bank for International Settlements (BIS) melalui the Basle Committee on Banking Supervision menetapkan prinsip-prinsip dasar pengawasan bank yang efektif, terdiri atas 25 persyaratan yang dapat dikelompokkan ke dalam 7 aspek (BIS, The Core Principles for Effective Banking Supervision, 1997).

Aspek pertama, pra kondisi bagi pengawasan yang efektif. Aspek ini menekankan perlunya kejelasan wewenang, tanggungjawab, tujuan yang jelas, bersifat independen dan memiliki sumber daya yang cukup bagi badan-badan yang terlibat dalam pengawasan bank.

Aspek kedua, perizinan dan struktur. Aspek ini mengenai kegiatan yang diizinkan, kriteria perizinan, otoritas yang mengkaji dan menolak usul, serta otoritas untuk menetapkan kriteria.

Aspek ketiga, mengenai prinsip kehati-hatian (prudential principles). Aspek ini mencakup ketentuan mengenai kecukupan modal, standar kredit dan monitoring, kebijakan dan prosedur evaluasi terhadap kualitas aset, sistem informasi manajemen bank, ketentuan pinjaman terkait (batas maksimum pemberian kredit), monitoring terhadap risiko, memiliki sistem yang memadai untuk memantau situasi pasar, mempunyai proses pengendalian risiko manajemen yang komprehensif, sistem pengendalian internal, serta meningkatkan kode etik profesional.

Aspek keempat, metode pengawasan bank yang berkesinambungan (on going supervision). Aspek ini menetapkan harus dilaksanakannya pemeriksaan (on site) dan pengawasan (off site). Di samping itu badan pengawas harus senantiasa melakukan hubungan atau diskusi dengan manajemen bank, mempunyai teknik untuk melakukan analisis data atau laporan, mempunyai independensi, serta mampu melakukan pengawasan secara konsolidasi.

Aspek kelima, mengenai informasi perbankan. Dalam aspek ini setiap bank harus mengupayakan catatan-catatan yang memadai yang dihasilkan sesuai dengan kebijakan akunting yang konsisten sehingga memungkinkan pengawas untuk memperoleh pandangan yang obyektif atas kondisi keuangan dan profitabilitas bank. Bank-bank harus menerbitkan laporan keuangan berkala secara obyektif mencerminkan kondisinya.

Aspek keenam, mengenai wewenang formal pengawas. Dalam aspek ini pengawas harus memiliki wewenang yang memadai dan jelas untuk melakukan tindakan korektif jika bank gagal memenuhi standar­ prudential atau jika kepentingan para deposan terancam.

Aspek ketujuh, adalah aturan dan kerjasama pengawasan internasional (cross­border banking). Aspek ini menekankan pentingnya peranan supervisor negara asal (home state) dan setempat (host state), perlunya pengawasan secara konsolidasi atau global dan wewenang untuk bertukar informasi dengan para pengawas lainnya serta perlunya penerapan standar yang sama antara bank lokal dengan bank asing.

 

Pengawasan Bank versus Kejahatan Perbankan

 

Kerumitan hukum perbankan diakibatkan dan kenyataan bahwa hukum perbankan melibatkan berbagai cabang hukum. Dalam keadaan demikian, hukum perbankan akan mencakup berbagai unsur hukum yang berasal dari berbagai sumber peraturan yang ada.

Pada dasarnya hukum perbankan seperti setiap norma yang lainnya meletakkan kewajiban yang menuntut kepatuhan. Dalam hal sanksi dikenakan kepada bank yang tidak mematuhi ketentuan yang telah digariskan bukan karena ketidakpatuhannya, melainkan memberikan perlindungan masyarakat. Sanksi diberikan bukan karena ketidakpatuhan, melainkan agar di masa datang ketidakpatuhan tersebut dapat dihindarkan.

Terjadinya kasus banking fraudulent atau bahkan banking criminal menunjukkan lemahnya kualitas pemeriksaan atau pengawasan internal yang melekat secara formal di lembaga perbankan, maupun secara individu perorangan selaku pejabat bank. Bagaimana mungkin para oknum pelaku bisa begitu mudah membobol dana sangat besar tanpa unsur pengawas bank mampu mendeteksi. Lebih memprihatinkan, bahwa sistem pengawasan yang dibuat berlapis-lapis dengan maksud memperkuat aspek pengawasan, namun upaya ini mampu diterabas oleh oknum pejabat bank.

Bisnis perbankan bergerak dinamis, terlebih dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi sebagai tulang punggung operasional perbankan, maka aparat pengawas bank harus ditingkatkan kemampuannya terus menerus secara berkesinambungan agar mampu mendeteksi potensi fraud dan criminal yang disebabkan oleh pelanggaran atau penyimpangan sistem dan prosedur.

Ditengarai bahwa salah satu penyebab utama terjadinya kasus-kasus perbankan adalah lemahnya pengawasan internal bank. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya unsur moral hazard, di mana pengawas internal bank melakukan kolusi dengan oknum petugas bank dan oknum dari luar perbankan untuk melakukan tindak kejahatan perbankan. Dengan kata lain kolusi pada bank, pihak bank-lah yang menjadi objek penipuan atau penggelapan, sedangkan pelakunya bervariasi. Apa pun variasinya, biasanya salah satu pihak yang berkolusi adalah oknum bank. Faktor inilah yang seringkali menjadi biang keladi terjadinya fraud dan criminal perbankan yang berpotensi merugikan bank secara finansial dan reputasi.

Arti yang terkandung dalam banking criminal (tindak pidana perbankan) tidak hanya mencakup setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Undang-undang Perbankan, melainkan juga Undang-undang Bank Indonesia, KUHPidana, peraturan hukum pidana khusus seperti Undang-undang tentang Pemutihan Uang (Money loundering), Undang-undang tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa dan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi cara melakukan (modus operandi) dilatarbelakangi oleh pelaksanaan kehendak dan faktor-faktor lainnya, yaitu kesempatan (opportunity) berupa kebetulan atau diciptakan; dan faktor kebutuhan (need) yang sebenarnya atau ditampilkan. Apa pun modus operandinya sebenarnya hanya ada dua jenis kejahatan perbankan, yaitu dalam bentuk error omission dan error comission.

Bentuk error omission adalah berupa pelanggaran terhadap suatu ketentuan berupa sistem dan prosedur yang seharusnya dipatuhi tetapi tidak dilaksanakan. Sedangkan bentuk error comission adalah berupa pelanggaran dalam bentuk melaksanakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh, tetapi karena tidak tertulis dalam sistem dan prosedur tetap saja dilakukan. Kedua jenis pelanggaran itu walaupun modus operandinya sama tetapi mempunyai sanksi yang berbeda. Bentuk pelanggaran error omission selalu ada sanksi adminsitratif yang dimuat dalam ketentuan peraturan perundangan. Sementara error comission berupa sanksi yang biasanya dimuat dalam code of conduct (kode etik).

 

Beberapa cara melakukan (modus operandi) tindak pidana perbankan, antara lain :

 

1.      Tindak pidana perbankan di bidang perizinan (legalitas) perbankan, yang lazim dikenal dengan istilah ‘bank gelap’. Dalam praktek cara melakukan tindak pidana ini berupa :

        menjalankan usaha bank;

        menjalankan usaha bank dalam bank;

        menjalankan usaha serupa  bank.

Tindak pidana di bidang perizinan ini diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp.20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah). Diatur dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No.10 Tahun 1998.

 

2.      Tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank. Cara melakukan tindak pidana ini berupa:

        Pembocoran rahasia bank oleh anggota dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya;

        Pemutihan uang (money loundering);

        Penggelapan pajak;

        Penyampaian laporan secara tidak benar kepada Bank Indonesia untuk menutup adanya penyimpangan  (window dressing).

Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, hal-hal lain yang berhubungan dengan keuangan, dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Dalam hubungan ini yang menurut kelaziman wajib dirahasiakan oleh bank adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, dan hal-hal lain dari orang, dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya. Bentuk-bentuk tindak pidana ini adalah :

a.      Tindak pidana penggelapan pemeriksaan uang (fraud auditing), berupa pembobolan rekening seseorang nasabah atau bank oleh orang dalam (insider) dan pemberian laporan keuangan yang tidak benar (false financial statements).

b.      Tindak pidana penggelapan pajak (tax evasion), pelanggaran mengenai pertanggungjawaban atau pelanggaran-pelanggaran atas syarat-syarat yang berhubungan dengan laporan menurut ketentuan peraturan perundangan perpajakan. Bentuk tindak pidana ini dapat diterapkan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan perpajakan.

c.       Tindak pidana pembuatan laporan yang tidak benar (window dressing), dilakukan dengan pemberian keterangan, data, atau informasi secara tidak benar. Bentuk-bentuk tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupiah). Namun dimungkinkan diterabasnya ketentuan ini dalam hal :

        Untuk kepentingan perpajakan (Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.10 Tahun 1998).

        Untuk kepentingan peradilan (Pasal 42 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 43 Undang-undang No.10 Tahun 1998).

        Untuk kepentingan kelancaran dan keamanan kegiatan usaha bank (Pasal 44 Undang-undang No.10 Tahun 1998).

 

3.      Tindak pidana perbankan di bidang jasa-jasa perbankan.

a.      Tindak pidana yang berhubungan dengan perkreditan. Cara melakukan tindak pidana ini berupa :

        Penipuan dan kecurangan di bidang perkreditan (credit fraud);

        Pemalsuan dokumen jaminan;

        Barang yang sama dijaminkan beberapa kali dengan atau tanpa sepengetahuan pihak Bank atau pihak lainnya yang terdahulu;

        Mendapatkan kredit yang tidak sesuai dengan peruntukannya;

        Pelanggaran pembatasan pemberian kredit (legal lending limit).

b.      Tindak pidana yang berhubungan dengan Warkat Bank. Cara melakukan tindak pidana ini adalah memalsukan atau menggunakan secara tidak benar dan melawan hukum warkat bank yang berupa:

        Automated Teller Machine (ATM);

        Pemalsuan kartu kredit (credit card);

        Warkat transfer dengan pola modus transfer via teleks dan telepon;

        L/C (Letter of Credit), B/L (Bill of Loading) dan surat-surat yang berhubungan dengan impor dan ekspor;

        Alat-alat lalu lintas pembayaran giral, seperti: cek, travellers chek, wesel, bilyet giro, nota bilyet, aksep, promes dan lain sebagainya.

 

4.        Tindak pidana perbankan dengan sarana komputer. Cara melakukan tindak pidana ini berupa penggunaan komputer secara tidak sah/tanpa izin dan melampaui batas wewenang yang diberikan dan penambahan atau pengurangan atau pengubahan instruksi pada suatu program sehingga program tersebut selain menjalankan tugas yang sebenarnya juga melaksanakan tugas lain yang tidak sah yang dihubungkan dengan devisa operasi perangkat lunak komputer (software).

 

5.        Tindak pidana perbankan dengan penyelewengan atau penyalahgunaan dana nasabah. Cara melakukan tindak pidana ini disebabkan karena tidak profesionalnya pihak Bankir dalam mengelola dana nasabah, khususnya nasabah penyimpan dana, di mana Bankir menggunakan dana nasabah ke dalam kegiatan-kegiatan bank yang penuh spekulasi.

 

6.    Tindak pidana perbankan dengan cara penggelapan dana nasabah. Tindak pidana ini biasanya dilakukan oleh bank fiktif (phantom bank) atau bank gelap. Cara melakukan tindak pidana ini adalah tidak menyalurkan dana masyarakat yang sudah terkumpul sebagaimana mestinya, tetapi dimiliki sendiri secara melawan hukum dan tanpa hak.

 

Macam Tindak Pidana Perbankan

 

1.      Tindak pidana perbankan dalam bidang pengawasan bank. Tindak pidana ini dibagi ke dalam 2 kategori, yaitu:

a.         Tindak pidana perbankan yang dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan, adalah seperti tercantum dalam Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (2) huruf b, dan Pasal 50 Undang-undang No.10 Tahun 1998.

b.         Tindak pidana perbankan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pelanggaran, adalah seperti tercantum dalam Pasal 48 ayat (2) Undang-undang No.10 Tahun 1998.

 

2.      Tindak pidana perbankan dalam bidang kolusi manajemen. Bentuk-bentuk tindak pidana ini, antara lain:

a.      Tindak pidana penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Tindak pidana ini terjadi bila oknum bank dengan sengaja meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank. Bentuk pidana ini diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). Diatur dalam Pasal  49 ayat (2) Undang-undang No.10 Tahun1998.

b.      Tindak pidana yang berkaitan dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Tindak pidana ini terjadi apabila terjadi pelanggran terhadap ketentuan BMPK, seperti :

        Batas maksimum pemberian kredit untuk sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam satu grup yang sama dengan bank yang bersangkutan tidak boleh melebihi 30% dari modal bank.

        Batas maksimum pemberian kredit untuk pemegang saham atau keluarganya, anggota komisaris dan keluarganya, anggota direksi atau keluarganya, pejabat bank, dan perusahaan-perusahaaan yang di dalamnya terdapat kepentingan mereka, tidak boleh melebihi 10% dari modal bank. (lihat Pasal 11 Undang-undang No.10 Tahun 1998).

Perlu dibedakan pelampauan BMPK yang terjadi misalnya sebagai akibat terdepresiasinya nilai rupiah terhadap Dollar Amerika (dengan kata lain tidak dilakukan karena sengaja), atau telah dilakukan pelanggaran BMPK (dilakukan dengan sengaja). Apabila yang terjadi adalah pelampauan BMPK, maka tidak dapat dianggap telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Namun apabila yang terjadi adalah pelanggaran BMPK, maka dapat dianggap telah melakukan tindak pidana, yaitu melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-undang No.10 Tahun 1998, dengan ancaman pidana dan denda. Dalam Undang-undang No.10 Tahun 1998 Pasal 49 ayat (2) huruf b, ditentukan: “Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah)”.

 

Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank, tidak dapat mengelak dari ancaman Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-undang No.10 Tahun 1998 dengan dalih pelanggaran BMPK telah diselesaikan, sehingga karenanya tidak lagi terjadi pelanggaran BMPK. Tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-undang No.10 Tahun 1998 adalah delict formil. Artinya, sekalipun akibat dari perbuatan itu telah diperbaiki, tetapi pelakunya tetap dianggap telah melakukan tindak pidana, yakni perbuatan pelanggaran BMPK telah terjadi. Dengan kata lain, sekalipun pelanggaran BMPK misalnya telah diatasi dengan melakukan assets settlement, anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank telah melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-undang No.10 Tahun 1998 dan tetap dipidana.

 

3.      Tindak pidana perbankan dalam KUHPidana. Dasar hukumnya adalah Pasal 103 KUHPidana di mana ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Buku Kesatu KUHPidana juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana. Kecuali jika dalam perundang-undangan lain tersebut ditegaskan bahwa ketentuan dalam buku kesatu KUHPidana tidak berlaku lagi. Bentuk-bentuk tindak pidana ini, adalah :

a.      Tindak pidana suap. Tindak pidana ini terjadi bila nasabah memberikan sesuatu atau menjanjikan akan memberikan suatu dengan maksud menggerakkan pegawai bank untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu di dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Bentuk tidak pidana ini diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 209, 418, dan 419 KUHPidana.

b.      Tindak pidana keterangan palsu. Tindak pidana ini terjadi bila oknum bank memberikan laporan palsu kepada BI. Diatur dalam Pasal 242 ayat (1) KUHPidana.

c.       Tindak pidana pemalsuan surat. Tindak pidana ini terjadi bila ada oknum bank yang memalsukan warkat bank akta otentik. Tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan delapan tahun. Diatur dalam Pasal 263 dan 264 KUHPidana.

d.      Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik. Tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, diatur dalam Pasal 265 KUHPidana.

e.       Tindak pidana penggelapan. Tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak sembilan ratus rupiah, diatur dalam Pasal 372 KUHPidana.

f.        Tindak pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHPidana.

g.      Tindak pidana pemutihan uang (money loundering). Tindak pidana ini terjadi bila ada uang atau barang yang diperoleh dari hasil kejahatan yang disimpan dalam institusi legal seperti bank. Tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah, diatur dalam Pasal 480 KUHPidana.

Faktor manusia menjadi dominan dalam berbagai kasus yang melanda dunia perbankan. Artinya, secanggih apa pun sistem deteksi dini di suatu bank dan setangguh apa pun sistem pengawasan internal yang diciptakan, semua itu tidak akan membawa hasil memuaskan dan sia-sia belaka bila faktor manusia tidak memiliki tanggungjawab moral dan profesi yang baik. Faktor manusia, oknum pejabat bank yang kolutif memiliki kadar moral dan profesionalisme amat rendah. Secara profesi barangkali oke, namun dari sisi etika dan moral sungguh amat rendah dan tidak terpuji.

 

Moralitas Hukum Perbankan

 

Bertolak dari teori Fuller yang mengatakan bahwa hukum itu adalah suatu ketrampilan, yaitu suatu seni (jus est ars). Dengan demikian dianalogikan dengan seorang juru gambar maka seorang “pembentuk hukum” haruslah seorang ahli.

Aturan hukum alamnya Fuller dapat dibandingkan dengan undang-undang “alamiah” yang berlaku bagi arsitek, yang mengharapkan rumah yang harus dibangun itu konstruksinya baik dan tepat untuk tujuannya seperti yang direncanakan. Rumah tersebut harus menjadi rumah yang “nyaman” bagi para penghuninya, sehingga mereka dapat tinggal dengan senang. Dengan pemikiran yang sama, pembuat peraturan harus menjaga bahwa stelsel hukum yang dikonstruksikannya benfungsi dengan baik dan hal yang tidak boleh dilupakan bahwa hukum haruslah tersedia untuk komunikasi yang lancar dan menyenangkan bagi para warga negara (The Morality of Law, 1971: 205).

Lon L. Fuller membedaan antara “morality of duty” dan “morality of aspira­tion”. Dengan demikian, menurut Fuller, hukum memiliki arti ganda, yaitu ke luar hukum adalah suatu kewajiban, sedangkan ke dalam, hukum itu adalah “pekerjaan mencipta”. Menurut Fuller, untuk mengukur dan memberikan kualifikasi terhadap hukum sebagai sistem hukum harus mengandung moralitas tertentu, diletakkan pada ‘eight negative criteria’ sebagai ‘principles of legality’. Moralitas tertentu yang dapat memungkinkan terjadinya hukum, disebutnya sebagai “internal morality” hukum, “…set out by Fuller as ‘eight ways to fail to make law’…” yaitu: hukum yang bersifat umum itu memerlukan peraturan peraturan; peraturan harus diumumkan; peraturan tidak boleh berlaku surut; peraturan harus jelas, tidak boleh dapat diartikan ganda; peraturan tidak boleh saling bertentangan; peraturan tidak boleh menuntut hal yang tidak mungkin; peraturan harus konsisten; dan peraturan harus juga berlaku bagi penguasa. Disebutnya sebagai “internal” sebab, “… they are implicit in the concept of law”, dan sebagai “morality” sebab, “… they set up standards for evaluating official conduct”. (The Morality of Law, Ibid.).

Menngacu pada persyaratan yang dikemukakan Fuller, peraturan-peraturan perbankan belum dapat memenuhi semua persyaratan yang ditentukan Fuller. Misalnya: peraturan perbankan berubah-ubah dalam jangka waktu yang relatif singkat, sehingga menimbulkan kesan tidak efisien dan peraturan yang hannya bersifat ad hoc. Banyak ketentuan dan peraturan BI dalam betuk Surat Edaran dan Surat Keputusan yang tidak dapat diketahui secara umum tetapi hanya ditujukan kepada lembaga perbankan, yurisdiksi ketentuan perbankan terbatas kepada lembaga perbankan saja.

Morality of duty hukum perbankan dapat dikemukakan, bahwa berbicara moral berarti kita berbicara mengenai nilai dasar yang mengatur hubungan antara Bank Indonesia sebagai bank sentral, lembaga perbankan dan masyarakat (nasabah). Dimensi dasar moralitas hukum perbankan: pertama, berkaitan dengan kepenti­ngan nasabah dan kepentingan masyarakat secara luas. Sehubungan dengan pemenuhan kepentingan kepada nasabah, bank harus memberi rasa aman dan puas bagi masyarakat yang telah memberikan kepercayaan. Kedua, memenuhi kepentingan secara baik dan benar, dalam arti memberi keuntungan yang wajar. Ketiga, bank yang dikelola harus mampu menampung kepentingan para pengurus dan karyawan, mampu mendorong peningkatan prestasi kerja dan rasa tanggungjawab. Keempat, mampu membantu kepentingan pemerintah dalam mendorong terciptanya stabiliitas moneter dan sekaligus pemerataan pembangunan. (Wahjono, 1995)

Dalam merealisir transaksi antara bank dengan nasabahnya seringkali timbul kepentingan yang saling bertentangan, dengan sendirinya mengandung moral dan etika tersendiri. Dalam kegiatan usaha bank menghimpun dana dari masyarakat, misalnya, dalam hal ini bank sebagai pihak yang menerima dana bertindak sebagai penjual kepercayaan, dan menimbulkan tanggungjawab pada pihak bank. Di sini berlaku etika “Caveat Vendor”, artinya hati-hatilah penjual, atau dengan perkataan lain bank harus melindun­gi kepercayaan para nasabah seutuhnya.

Dalam kegiatan pemberian pinjaman, bank bertindak sebagai pembeli kepercayaan yang diajukan nasabah untuk memperoleh pinjaman, maka berlakulah etika “Caveat Emptor”, artinya hati-hatilah bank dalam memberikan pinjaman. Sikap ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian (prudential principles).

 

Harmonisasi Hukum Perbankan

 

Usaha untuk melakukan harmonisasi sistem hukum berkenaan dengan terjadinya ketidakseimbangan dan perbedaan unsur-unsur sistem hukum, dilakukan dengan cara menghilangkan ketidakseimbangan dan melakukan penyesuaian terhadap unsur-unsur sistem hukum yang berbeda itu. Harmonisasi hukum perbankan dalam pengertian melakukan regulasi melalui usaha unifikasi, dengan mendekatkan aturan dan koordinasi kebijakan. Dikatakan oleh Zaphitiou Harmonization is short of unification and consists in the approximation of rules and coordination of polices” (George Zaphitiou, 1990: 96). Cally Jordan, dalam Financial Regulatory Harmonization and the Globalization of Finance, mengemukakan “Faced with the potentially destabilizing effects of international financial markets, they have to strengthen financial regulation, importing international best practices and aligning domestic with foreign regulation to avoid destabilizing phenomena of regulatory arbitrage”. Dengan demikian makna pengambilan langkah untuk melakukan harmonisasi hukum perbankan, adalah sebagai upaya yuridis-antisipatif ke masa datang.

Secara teoritis dikenal tiga model harmonisasi hukum, yaitu tinkering harmonization, following harmonization dan leading harmonization. Tinkering harmonization merupakan harmonisasi hukum melalui optimalisasi penerapan hukum yang ada (existing law) dengan beberapa penyesuaian, dengan pertimbangan efisiensi. Following harmonization, menunjuk pada harmonisasi hukum bidang-bidang tertentu yang ditujukan untuk penyesuaian hukum yang ada (existing law) dengan perubahan-perubahan sosial. Leading harmonization, menunjuk pada penerapan atau penggunaan hukum untuk melakukan perubahan-perubahan sosial. (Merryman, 1997)

Dalam kerangka model di atas, pengambilan langkah pengaturan hukum perbankan dalam era globalisasi, akan kurang strategis apabila ditempuh tinkering harmonization atau following harmonization, karena produk hukum yang tercipta akan mudah tertinggal perubahan-perubahan keadaan sosial. Dengan kata lain, produk hukum yang dihasilkan cenderung akan cepat diubah sehingga kurang memenuhi prinsiples of legality yang dipersyaratkan Fuller, sebab “introducing such frequent changes in the rules that the subject cannot orient his action by them” (The Morality of Law, op.cit.). Dengan demikian, secara ideal ditempuh langkah harmonisasi hukum yang bersifat leading harmonization. Produk hukum yang tercipta dalam harmonisasi hukum yang bersifat leading harmonization akan lebih antisipatif terhadap liberalisasi perbankan di masa yang datang.

Dengan demikian lebih ideal ditempuh harmonisasi hukum dengan menjadikan sebagai model, baik dalam bentuknya semula (adoption) maupun dalam bentuk yang sudah diubah (adaptation), model-model hukum perbankan negara-negara maju, antara lain hasil perancangan Bank for International Settlements (BIS) dan International Bank for Reconstruction Development (IBRD). Sejalan dengan hal itu, dikatakan oleh Cally Jordan, “The minimum harmonization principle instead requires two ancillary principles to be operative: the mutual recognition of foreign regulatory systems (recognition of the validity of foreign regulation) and the principle of home country control (recognition of the validity of foreign supervisory authorities)”. Dengan menempuh langkah harmonisasi hukum demikian, norma-norma hukum yang dihasilkan lebih mempunyai nilai-nilai yang bersifat transnasional.

Dalam mencapai suatu perbankan yang sehat, kuat dan efisien, guna mewujudkan stabilitas sistem keuangan dan mendorong pembangunan ekonomi nasional, harmonisasi sistem hukum perbankan nasional merupakan suatu pilihan yang penting untuk dilakukan. Dalam rangka harmonisasi hukum perbankan, melakukan regulasi melalui usaha unifikasi, dengan mendekatkan aturan dan koordinasi kebijakan, untuk menghindarkan pengaturan yang tumpang tindih. Menetapkan kerangka dasar sistem perbankan nasional, yang dapat dijadikan sebagai policy direction bagi kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang.

Landasan pokok sistem perbankan nasional yang ditetapkan oleh BI sebagai bank sentral (pengawas dan pembina bank) yang disebut sebagai “Arsitektur Perbankan Indonesia”, yaitu: (i) struktur perbankan yang sehat, mampu mendorong pembangunan ekonomi nasional dan berdaya saing internasional; (ii) sistem pengaturan yang efektif dan mampu mengantisipasi perkembangan pasar keuangan domestik dan internasional; (iii) sistem pengawasan bank yang independen dan efektif; (iv) penguatan kondisi internal industri perbankan; (v) penciptaan dan penguatan infrastruktur pendukung industri perbankan; (vi) perlindungan dan pemberdayaan nasabah.

Dari landasan pokok sistem perbankan nasional, dipertimbangkan faktor-faktor dinamis yang dapat mempengaruhi formulasi policy direction, antara lain berupa isu-isu penting dalam industri perbankan pada waktu sekarang dan harapan masa datang. Kemudian dipertimbangkan pengaruh faktor-faktor dinamis yang berada di luar kendali industri perbankan, antara lain berupa stabilitas ekonomi makro, perkembangan teknologi informasi dan komitmen stakeholders. Selanjutnya convergent dengan 25 Core Principles for Effective Banking Supervision yang ditetapkan oleh Basle Committee on Banking Supervision yang akan memperkuat sistem perbankan.

Interaksi antara “landasan pokok sistem perbankan nasional”, “faktor-faktor dinamis yang dapat mempengaruhi formulasi policy direction”, “faktor-faktor dinamis yang berada di luar kendali industri perbankan”, convergent dengan “25 Core Principles for Effective Banking Supervision”; akan menghasilkan suatu wawasan atau pokok-pokok pikiran hukum. Berdasarkan wawasan pokok-pokok pikiran hukum tersebut akan melahirkan konsep harmonisasi hukum perbankan, yang akan mendasari perumusan legislation planning dan law making process melalui regulasi, dengan mendekatkan aturan dan koordinasi kebijakan perbankan. Pada akhirnya melalui penerapan hukum (law enforcement) diharapkan akan terwujud sistem perbankan yang sehat (prudential system).

 

Simpulan

 

Di atas telah dikemukakan bahwa terjadinya kasus-kasus perbankan menunjukkan lemahnya kualitas pemeriksaan atau pengawasan internal yang melekat secara formal di lembaga perbankan, maupun secara individu perorangan selaku pejabat bank. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya unsur moral hazard, di mana pengawas internal bank melakukan kolusi dengan oknum petugas bank dan oknum dari luar perbankan untuk melakukan tindak kejahatan perbankan. Faktor inilah yang seringkali menjadi biang keladi terjadinya fraud dan criminal perbankan.

Faktor manusia menjadi dominan dalam berbagai kasus yang melanda dunia perbankan. Secanggih apa pun sistem deteksi dini (early warning system) di suatu bank dan setangguh apa pun sistem pengawasan internal yang diciptakan, semua itu tidak akan membawa hasil memuaskan dan sia-sia belaka bila faktor manusia tidak memiliki tanggungjawab moral dan tanggungjawab profesi yang baik.

Pembahasan di atas menunjukkan bahwa dalam upaya mencapai suatu perbankan yang sehat, kuat dan efisien, guna mewujudkan stabilitas sistem keuangan dan mendorong pembangunan ekonomi nasional, menuntut perubahan paradigma dan tindakan. Dalam hal ini terlihat, harmonisasi sistem hukum perbankan nasional merupakan suatu pilihan yang penting untuk dilakukan. Harmonisasi hukum perbankan, melakukan regulasi melalui usaha unifikasi, dengan mendekatkan aturan dan koordinasi kebijakan, untuk menghindarkan pengaturan yang tumpang tindih.

 

Referensi :

 

Bank Indonesia, 2003, Arsitektur Perbankan Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia.

Bank for International Settlements, “Guidelines for Effective Banking Supervision”, 1997, http://www.bis.org

_______, “The Core Principles for Effective Banking Supervision”, 1997, http://www.bis.org

Encyclopedia International, 1967, (6), New York: Grolier Incorporated.

Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation.

Fuller, Lon L., 1971, The Morality of Law, New Haven, Conn.: Yale University Press.

Hardjo, Wahjono, “Hukum, Moralitas dan Bisnis Perbankan: Suatu Kajian Hukum Perbankan di Indonesia”, Majalah Hukum Pro Justitia, Tahun XII No.3, Juli 1995.

Jordan, Cally dan Giovanni Majnoni, 2002, “Financial Regulatory Harmonization and the Globalization of Finance”, World Bank Policy Research Working Paper 2919, http://www.econ.worldbank.org/

Liputo, Yuliani, (ed.), 1995, Kamus Filsafat, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Merryman, John Henry, “Comparative Law and Social Change: On the Origins, Style, Decline & Revival of the Law and development Movement”, The American Journal of Comparative Law, Vol.25, 1977, http://www.imf.org/external/pubs/ft/ seminar/1999/reforms/trebil.pdf

New Webster Dictionary of the English Language, 1970, New York: Grolier Incorporated.

Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2000, New York: Oxford University Press.

Ranuhandoko, IPM, 1996, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

World Bank , Washington, D.C., 1997, Website http://www.worldbank.org/

Zaphitiou, George, “A Harmonization of Private Rules between Civil and Common Law Jurisdiction, The American Journal of Comparative law”, Vol.38, 1990, h.96, http://www.worldbank.org/legal/legop_judicial/ljr_conf_papers/zaphitiou.pdf/harmonization

—– ooo 0 ooo —–

Dr. Kusnu Goesniadhie S., SH., MHum., Praktisi Hukum dan Staf Pengajar FH Universitas Wisnuwardhana Malang.

Tinggalkan komentar